Humanisme sebagai akar kemanusiaan menjadi bentuk pendalaman terhadap pertanyaan apa arti menjadi manusia, selain kemudian untuk menjadi khalifahtul fill ard adapun yang perlu diingat dalam konteks menjalani kehidupan yakni bagaimana kemudian kehidupan kita mampu bermanfaat bagi kehidupan yang lain dan merupakan bentuk daripada penghambaan kepada tuhan.
Kehadiran ilmu pengetahuan dan teknologi era modern telah menyuburkan perkembangan humanisme sekular. Manusia global digiring dalam suasana modernisme dan sekularisme atau paling tidak terpengaruh oleh kedua hal itu
Sebagaimana modernisme, sekularisme juga mengesampingkan nilai-nilai spiritual.
Descartes, Hegel, dan Kant adalah para filsuf modern yang merayakan kemampuan manusia untuk menjadi sadar atas diri dan realitas di sekitarnya. Dengan kemampuan akal budinya, manusia mampu menentukan apa yang baik dan apa yang buruk untuk dirinya sendiri “para humanis ateistis menantang orang-orang beriman untuk secara mendalam merenungkan mengapa dan bagaimana mereka beriman.”
Sekularisme sebagai ideologi atau pandangan hidup masyarakat modern meyakini bahwa yang ada hanyalah dunia dan tidak ada satupun di luar yang ada ini, Manusia modern dan sekular belum dapat menyelesaikan berbagai problematikanya.
Para modernis baik dari kalangan Barat maupun Islam menyimpulkan kebutuhan manusia pascamodern adalah keluar dari krisis modernisme dan kembali kepada hikmah spiritual yang terdapat dalam agama. Di masa modern ini, manusia dilihat sebagai mahluk yang transenden dengan kebebasan, kesadaran, dan akal budi yang ia miliki. Ia bukan lagi citra Tuhan, melainkan mahluk hidup yang mampu membuat alam tunduk pada keinginan dan kepentingannya. Ia tidak lagi tunduk pada tafsir-tafsir religius tentang kebenaran dan kehidupan, melainkan berani mengangkat kekuatan-kekuatan yang ada di dalam dirinya sendiri untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik untuk dirinya. Agama diminta untuk memberikan tempat untuk akal, kebebasan, dan kesadaran manusia, sehingga bisa tetap menjadi pedoman hidup manusia yang justru mengangkat kemampuan-kemampuan terpendam di dalam dirinya.
Gerakan humanisme modern sungguh menjadikan manusia sebagai pusat alam semesta. Alam, dan bahkan Tuhan, dikesampingkan demi mengembalikan kebebasan manusia yang sebelumnya tertutup oleh kabut tafsir religius. Ludwig Feuerbach, yang dianggap sebagai bapak Ateisme modern, bahkan melihat keberadaan tuhan sebagai suatu proyeksi manusia, karena ia tidak mampu mewujudkan kemampuan-kemampuan kodratinya secara penuh dalam hidup yang nyata. Friedrich Nietzsche bahkan menyatakan, bahwa tuhan sudah mati, dan kita semua, yakni manusia, yang membunuhnya.
Di sisi lain, humanisme memiliki aspek ideologis, bahwa sebagai suatu “isme”, humanisme tetap memiliki unsur dogmatis di dalam dirinya yang seringkali menjelma sebagai kebenaran mutlak yang berlaku untuk siapapun, dimanapun, dan kapanpun, maka harus dipaksakan ke semua orang. yang dapat diterima adalah sisi kritis dan normatif dari humanisme, yang disebutnya sebagai Humanisme Etis. Yang terus harus ditolak dan dipikirkan ulang adalah humanisme sebagai ideologi, yakni humanisme yang mengandung sisi dogmatis yang siap membelenggu keberagaman dan kekayaan hidup manusia ke dalam satu versi kebenaran tertentu.
Maka olehnya sangat diperlukan rekonseptualisasi manusia namun sebelum jauh melangkah perlu kembali kita cermati konsep penciptaan manusia sebagai mahluk yang mulia namun konsep mahluk yang mulia ini hanya akan dipandang sementara oleh barat, pandangan ini hanya berlaku sementara dengan apa yang dipercaya oleh Islam itu sendiri, tak dapat dipungkiri hal ini terjadi karna pandangan ini didasarkan atas prinsip individualitas yang artinya tingkat kepercayannya masih dapat diperdebatkan dalam dunia keilmuan itu sendiri.
Olehnya dapat kita pastikan, bahwa barat yang terkesan menekankan aspek kehidupan sosialis sehingga menempatkan seluruh aspek kehidupan pribadi sebagai etika subyektif dan dapat kita sebut salah satunya ialah Hedonisme, hedonisme itu sendiri menjadi realitas social masyarakat sehingga menjadi pengaruh besar untuk terciptanya tingkat rendah keperdulian atas kehidupan yang ada disekitarnya, hal ini kemudian menjadi kecenderungan social yang terjadi ditengah tengah masyarakat sehingga perlunya rekonseptualisas humanisme spiritual sebagai satu satunya solusi sebab humanisme spiritual sebagai aktualisasi konsep yang hakiki. dalam kaitannya dengan pemikiran Al-Ghazali yakni untuk mencapai insan al-kamil (manusia yang sempurna) serta terwujudnya masyarakat ideal, mengingat sebuah sabda Nabi Muhammad SAW yang mengatakan ”barangsiapa yang mengenal dirinya maka ia akan mengenal tuhannya”.
Konsep seperti inilah yang menjadi perdebatan manusia modern saat ini yang dimana segala sesuatu yang dikaitkan dengan nilai religiusitas hanya akan menjadi ancaman untuk membelenggu kebebasan manusia itu sendiri, mungkin beginilah pemikiran manusia modern dapat kita sebut sebuah paham sekuler yang sebagai kita ketahui paham ini akan menjauhkan atau memisahkan antara agama dan realitas kehidupan yang ditanamkan dalam kemanusiaan itu sendiri
Dikotomi pandangan mengenai humanisme sekuler dan modern itu sendiri menjadi permasalahan tersendiri yang pada dasarnya hal hal yang dibahas adalah hal yang dimana perbandingan filosofisnya amatlah berbeda, mengingat solusi yang diberikan Nasr yakni humanisme spiritual seharusnya menjadi landasan yang dapat dijadikan basis kehidupan dan demi terciptanya insan Al-kamil sebagai bentuk perwujudan masyarakat yang mengetahui makna-makna esensial dan keadaban.
Oleh: Ranggi Ilham Nur
Sekbid Hikmah PC IMM BULUKUMBA 21/22
IPPMATIRTA Sukses Gelar Pemeriksaan Kesehatan Gratis di Desa Tirongkotua
Dapatkan informasi terupdate dari kami!
Berdikari C, Jln. Ahmad Yani, Bulukumba
62 853-4365-2494 / 62 853-4043-4280
official@pintuperadaban.com
© Pintu Perdaban.Com. All Rights Reserved. Design by HTML Codex